Sejarah Mesir

Sejarah Mesir – Narmer, seseorang penguasa pra- dinasti, ditemani oleh orang- orang yang bawa panji- panji bermacam dewa lokal

Periode Pradinasti serta Dinasti Awal

Agama Mesir diperkirakan berawal semenjak masa prasejarah, bersumber pada fakta yang cuma berasal dari catatan arkeologi sangat jarang serta ambigu. Pemakaman yang cermat sepanjang Periode Pradinasti menyiratkan kalau orang- orang pada masa ini yakin pada sebagian wujud kehidupan sehabis kematian. Pada dikala yang sama, hewan- hewan dikuburkan secara ritual, suatu aplikasi yang bisa jadi mencerminkan pertumbuhan dewa zoomorphism( penggambaran dewa dalam wujud hewan) semacam yang ditemui dalam agama sesudahnya.

Ada fakta yang samar menimpa dewa- dewa dalam bentuk manusia, serta tipe dewa ini bisa jadi kemunculannya lebih lelet dibandingkan dalam bentuk hewan. Tiap wilayah di Mesir awal mulanya mempunyai dewa pelindungnya sendiri, namun sebab komunitas- komunitas kecil ini silih menaklukkan ataupun meresap satu sama lain, dewa dari daerah yang kalah dimasukkan ke dalam mitologi dewa lain ataupun diserap keseluruhannya. Perihal ini menciptakan panteon yang lingkungan, ialah sebagian dewa senantiasa berarti cuma secara lokal, sebaliknya yang lain meningkatkan arti yang lebih umum. Bersamaan pergantian waktu serta perpindahan kerajaan semacam kerajaan pertengahan, kerajaan baru, serta kerajaan lama, umumnya agama yang mengikutinya senantiasa di dalam batas- batas daerah tersebut.

Periode Dinasti Dini diawali dengan penyatuan Mesir dekat 3000 SM. Kejadian ini mengganti agama Mesir, sebab sebagian dewa jadi kepentingan nasional serta pemujaan firaun yang agung jadi fokus utama aktivitas keagamaan. Horus diidentifikasi selaku raja, serta pusat pemujaannya di ibukota Mesir Hulu, Nekhen. Nekhen merupakan salah satu web keagamaan sangat berarti pada masa itu. Pusat berarti yang lain merupakan Abydos, tempat para penguasa dini membangun lingkungan pemakaman yang lumayan megah.

Kerajaan Lama serta Pertengahan

Sepanjang Kerajaan Lama, para pendeta dewa- dewa besar berupaya buat mengendalikan panteon nasional yang rumit jadi kelompok- kelompok yang terpaut dengan mitologi mereka dan peribadatan di kuil, semacam Ennead dari Heliopolis yang menghubungkan dewa- dewa berarti semacam Atum, Ra, Osiris, serta Set dalam satu mitos penciptaan. Sedangkan itu, piramida, diiringi dengan lingkungan kuil kamar jenazah yang besar, mengambil alih mastaba selaku makam firaun. Berbeda dengan dimensi lingkungan piramida yang besar, kuil- kuil buat dewa senantiasa relatif kecil, menampilkan kalau agama formal pada periode ini lebih menekankan pemujaan raja agung daripada pemujaan dewa- dewa secara langsung. Ritual penguburan serta arsitektur periode ini sangat pengaruhi kuil- kuil serta ritual rumit yang digunakan dalam pemujaan para dewa pada periode selanjutnya.

Lingkungan piramida di Djedkare Isesi

Di awal Kerajaan Lama, Ra terus menjadi mempengaruhi, serta pusat pemujaannya di Heliopolis jadi web agama sangat berarti di negeri ini. Pada Dinasti Kelima, Ra merupakan dewa yang sangat menonjol di Mesir. Terbangunnya kaitan yang erat antara Ra dengan kerajaan serta alam baka, menjadikan perihal ini bertahan sepanjang sisa sejarah Mesir.

Pada masa yang sama, Osiris jadi dewa alam baka yang berarti. Bacaan Piramida awal kali ditulis pada masa ini, mencerminkan keunggulan konsep matahari serta Osirian tentang alam baka, walaupun mereka pula memiliki sisa- sisa tradisi yang jauh lebih tua. Teks- teks tersebut ialah sumber yang sangat berarti buat menguasai teologi Mesir kuno.

Pada abad ke- 22 SM, Kerajaan Lama runtuh dalam kekacauan Periode Menengah Awal, dengan konsekuensi berarti untuk agama Mesir. Para pejabat Kerajaan Lama telah mulai mengadopsi upacara pemakaman yang awal mulanya didedikasikan buat para bangsawan. Namun saat ini, terdapatnya hambatan yang longgar di antara kelas- kelas sosial, bermakna kalau praktik- praktik ini dan keyakinan- keyakinan yang menyertainya secara bertahap diperluas ke seluruh penduduk Mesir, ialah suatu proses yang diucap” demokratisasi alam baka”. Pemikiran Osirian tentang alam baka mempunyai energi tarik terbanyak untuk rakyat jelata, sehingga Osiris jadi salah satu dewa yang sangat berarti.

Kesimpulannya para penguasa dari Thebes bersatu kembali dengan bangsa Mesir di Kerajaan Pertengahan( dekat 2055–1650 SM). Firaun Thebes ini awal mulanya mempromosikan dewa pelindung Monthu buat kepentingan nasional, namun sepanjang Kerajaan Pertengahan, dia dikalahkan oleh meningkatnya popularitas Amun. Di negeri Mesir yang baru ini, ketaatan individu berkembang lebih berarti serta dinyatakan lebih leluasa dalam sastra, suatu tren yang setelah itu bersinambung di Kerajaan Baru.

Kerajaan Baru

Kerajaan Pertengahan runtuh pada Periode Menengah Kedua( dekat 1650–1550 SM), namun negara tersebut kembali dipersatukan oleh penguasa Thebes, yang jadi firaun awal Kerajaan Baru. Di dasar rezim baru ini, Amun jadi dewa negeri paling tinggi. Ia disinkretisasi dengan Ra, pelindung raja yang telah lama berdiri, serta kuilnya di Karnak jadi pusat agama Mesir yang sangat berarti. Ketinggian status Amun sebagian diakibatkan sebab berartinya daerah Thebes, pula sebab kependetaan yang terus menjadi handal. Dialog teologis mereka yang maju, menciptakan penjelasan rinci tentang kekuatan umum Amun.

Ikatan yang bertambah dengan orang luar pada periode ini, menimbulkan adopsi dari banyak dewa Timur Dekat ke dalam jajaran dewa- dewa mereka. Pada dikala yang sama, orang- orang Nubia yang ditaklukkan meresap keyakinan agama Mesir, serta spesialnya mengadopsi Amun selaku dewa mereka.

Akhenaten serta keluarganya menyembah Aten

Tatanan religius Kerajaan Baru terpecah kala Akhenaten menyetujui, serta mengambil alih Amun dengan Aten selaku dewa negeri. Kesimpulannya dia menghapuskan ibadah formal buat sebagian besar dewa yang lain, dan memindahkan bunda kota Mesir ke kota baru di Amarna. Bagian sejarah Mesir ini setelah itu diucap Periode Amarna. Dengan demikian, Akhenaten mengklaim status yang belum sempat terjalin tadinya: cuma ia yang dapat memuja Aten, serta rakyatnya menujukan ibadah mereka kepadanya. Sistem Atenistis tidak mempunyai mitologi serta kepercayaan alam baka yang tumbuh dengan baik, serta Aten nampak jauh serta impersonal, sehingga rezim baru tersebut tidak menarik untuk rakyat biasa.

Dengan demikian, banyak yang terus menyembah dewa- dewa tradisional secara individu. Tetapi, penarikan sokongan negeri terhadap dewa- dewa lain sangat mengusik warga Mesir. Para penerus Akhenaten setelah itu memulihkan sistem agama tradisional, serta kesimpulannya mereka memecahkan seluruh monumen Atenistis.

Saat sebelum Periode Amarna, agama terkenal cenderung menuju ke ikatan yang lebih individu antara jamaah serta dewa- dewa mereka. Pergantian Akhenaten sudah membalikkan tren ini, namun sehabis agama tradisional dipulihkan, terdapat respon balik. Warga mulai yakin kalau para dewa jauh lebih banyak ikut serta secara langsung dalam kehidupan tiap hari. Amun, dewa paling tinggi, dikira selaku wasit terakhir dari takdir manusia, penguasa sejati Mesir. Firaun pula lebih bertabiat manusiawi serta keagungannya memudar. Berartinya peramal selaku instrumen pengambilan keputusan terus menjadi bertambah, begitu pula kekayaan serta pengaruh para penutur nubuat, kependetaan. Tren ini mengganggu struktur tradisional warga serta berkontribusi pada runtuhnya Kerajaan Baru.

Periode berikutnya

Pada milenium ke- 1 SM, Mesir jadi lebih lemah daripada di masa tadinya, serta dalam sebagian periode bangsa asing mengambil alih negara tersebut dan mencaplok posisi firaun. Berartinya status firaun terus memudar, serta penekanan pada ketaatan terkenal terus bertambah. Pemujaan hewan yang ialah wujud ibadah khas Mesir terus menjadi terkenal di periode ini, selaku reaksi terhadap ketidakpastian serta pengaruh asing di masa tersebut.Isis lebih terkenal selaku dewi proteksi, sihir, serta keselamatan individu, serta jadi dewi sangat berarti di Mesir.

Serapis

Pada abad ke- 4 SM, Mesir jadi kerajaan Helenistik di dasar Dinasti Ptolemaik( 305–30 SM), yang mengambil alih kedudukan firaun, dalam mempertahankan agama tradisional serta membangun ataupun memperbarui kuil- kuil. Kalangan penguasa kerajaan Yunani mengenali dewa- dewa Mesir dengan kepunyaan mereka sendiri.

Dari sinkretisme lintas budaya ini timbul Serapis, dewa yang mencampurkan Osiris serta Apis dengan ciri dewa Yunani, yang jadi sangat terkenal di golongan penduduk Yunani. Tetapi demikian, mayoritas 2 sistem keyakinan tersebut senantiasa terpisah, serta dewa- dewa Mesir senantiasa di Mesir.

Keyakinan masa Ptolemeus sedikit berganti sehabis Mesir jadi provinsi Kekaisaran Romawi pada 30 SM, dengan raja- raja Ptolemeus digantikan oleh kaisar- kaisar nun jauh. Pemujaan Isis apalagi menarik untuk orang- orang Yunani serta Romawi di luar Mesir, serta dalam wujud Helenisasi menyebar ke segala kekaisaran.

Di Mesir sendiri, kala kekaisaran mulai melemah, kuil- kuil formal runtuh serta porak poranda. Tanpa terdapatnya pengaruh yang terpusat, aplikasi keagamaan jadi terpecah- pecah serta terlokalisasi. Sedangkan itu, agama Kristen tersebar di segala Mesir, serta pada abad ketiga serta keempat Masehi, dekrit kaisar Kristen serta gerakan ikonoklasme penduduk Kristen lokal menggerogoti keyakinan tradisional. Meski sanggup bertahan di golongan penduduk buat sebagian lama, agama Mesir lambat- laun memudar.

Peninggalan

Agama Mesir Kuno menghasilkan kuil- kuil serta makam- makam yang jadi memorial Mesir kuno sangat abadi, namun pula pengaruhi kebudayaan lain. Pada zaman firaun, banyak simbol- simbol semacam sfinks serta Matahari Bersayap yang diadopsi oleh budaya lain di segala Mediterania serta Timur Dekat, pula sebagian dewa- dewa mereka, semacam Bes. Sebagian koneksi ini susah dilacak. Konsep Elysium Yunani bisa jadi berasal dari pemikiran Mesir tentang alam baka.

Pada akhir zaman dulu, konsep Neraka agama Kristen mungkin besar dipengaruhi oleh sebagian tamsil dalam Duat. Cerita Injil menimpa Yesus serta Maria bisa jadi sudah dipengaruhi oleh Isis serta Osiris. Kepercayaan Mesir pula pengaruhi ataupun menimbulkan sebagian sistem keyakinan esoterik yang dibesarkan oleh orang- orang Yunani serta Romawi, yang menyangka Mesir selaku sumber kebijaksanaan mistik. Hermetisisme, misalnya, berasal dari tradisi pengetahuan sihir rahasia yang terpaut dengan Thoth.

Zaman modern

Jejak kepercayaan kuno senantiasa terdapat dalam tradisi rakyat Mesir sampai zaman modern, namun pengaruhnya pada warga modern bertambah dengan invasi Prancis di Mesir pada tahun 1798 dan penglihatan mereka pada monumen- monumen serta gambaran- gambaran. Selaku dampaknya, orang Barat mulai menekuni keyakinan Mesir secara langsung, serta motif agama Mesir diadopsi dalam kesenian Barat.

Agama Mesir semenjak itu mempunyai pengaruh dalam kebudayaan terkenal. Sebab atensi yang terus bersinambung pada keyakinan Mesir, pada akhir abad ke- 20, sebagian kelompok agama baru yang terletak di dasar label Kemetisme lahir bersumber pada rekonstruksi yang berbeda dari agama Mesir kuno.